MENGUNGKAP TABIR KEBENARAN, MENCARI KEADILAN UNTUK #NURDIN #BASIRUN
Tim Hukum Gubernur Kepri (Non-aktif) Nurdin Basirun (NBU) sudah menyampaikan Pledio (Nota Pembelaan) di hadapan sidang PN Jakarta Pusat yang dilakukan secara “on-line” dari Gedung Merah Putih KPK di Jalan HR Rasuna Said-Jakarta Selatan dengan dihadiri oleh Terdakwa dan Tim Penasehat Hukum serta Jaksa Penuntut Umum serta Majelis Hakim dari Ruagn Sidang PN Jakarta Pusat di Jalan Bungur Besar Jakarta Pusat pada hari Kamis tanggal 2 April 2020. Sebagai kesimpulan pemeriksaan perkara yang dituduhkan kepada Terdakwa, Tim Hukum berpendapat bahwa tidak boleh dipaksakan untuk mencari kesalahan Terdakwa, karena yang akan terjadi pertentangan atau berlawanan dengan fakta persidangan berupa alat bukti keterangan-keterangan saksi dimaksud (karena tidak ada bukti keterangan saksi atau alat bukti lain yang bersifat meyakinkan tanpa keraguan (beyond reasonable doubt), yang tidak terungkapnya kebenaran materiil mengenai kesalahan Terdakwa. Oleh karena itu, kami mohon kiranya asas hukum “in dubio pro reo” (yang berarti dalam keragu-raguan hakim haruslah membebaskan terdakwa) dapat dipertimbangkan untuk diterapkan. Begitu pula dikenal adagium “Lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang yang belum tentu bersalah”. Asas hukum in dubio pro reo sangatlah penting dalam hukum pidana, mengingat kebenaran yang dicari dan/atau dibuktikan dalam hukum pidana adalah “kebenaran yang bersifat materiil”. Tim Penasehat Hukum memohon agar Majelis Hakim untuk mepertimbangkan lagi beberapa fakta hukum yang mendasari permohonan mengapa Terdakwa harus dibebaskan atau setidak-tidaknya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum, atau dihukum seringan-ringannya, sebagai berikut: 1. Bahwa Terdakwa sudah bersikap sangat kooperatif selama menghadapi permasalahan hukum ini, dengan mengikuti semua proses penyidikan dan persidangan dengan baik, tanpa pernah mangkir sekalipun; 2. Bahwa Terdakwa tidak mengajukan upaya hukum praperadilan maupun mengajukan Nota Keberatan (eksepsi) terhadap surat dakwaan, sehingga sidang berjalan dengan lancar; 3. Bahwa Jaksa Penuntut Umum KPK telah salah memahami pengertian “Izin Prinsip,” terutama “Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut,” dengan merujuk ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2018 tentang Perubahan Gubernur Nomor 57 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kepulauan Riau (selanjutnya disebut Peraturan Gubernur Kepri No. 31 Tahun 2018). Bahwa Peraturan Gubernur Kepri No. 31 Tahun 2018 hanya menyebutkan “Izin Prinsip Penanaman Modal” (vide Lampiran Peraturan Gubernur Kepri No. 31 Tahun 2018) termasuk kewenangan Gubernur yang dilimpahkan kepada “PTSP”, bukan termasuk “Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut”, sehingga tidak benar dan tidak beralasan hukum Jaksa Penuntut Umum KPK mendakwa Terdakwa telah “menandatangani Izin Prinsi Pemanfataan Ruang Laut” sebagai perbuatan melawan hukum yang melampaui kewenangan Terdakwa Gubernur Kepri (Non-aktif). Bahwa “Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut” bukan “Perijinan” sebagaimana dimaksudkan Peraturan Gubernur Kepri No. 31 Tahun 2018 karena secara teknis administrasi pemerintahan “penomeran surat untuk “Izin” diberikan oleh Biro Hukum, sementara penomeran “Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut” dikeluarkan oleh Biro Umum disebabkan merupakan satu surat biasa menjawab Permohonan Pemanfaatan Ruang Laut”. 4. Bahwa secara hukum tidak ada persesuaian kehendak (meeting of mind) antara Terdakwa dengan pelaku lain, antara lain Abu Bakar dan Kock Meng yang memberikan uang kepada Budi Hartono dan Edy Sofyan. Perbuatan keempat orang (yang kesemuanya menjadi terdakwa dalam perkara ini) tidak ada pengetahuan apalagi persetujuan Terdakwa, dengan fakta hukum sebagai berikut: Bahwa dalam perkara ini penerimaan uang yang diduga diterima oleh Terdakwa (quod non) melalui Budi Hartono bersama dengan Edy Sofyan yaitu uang sebanyak Rp.45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah) nyatanya tidak pernah dinikmati oleh Terdakwa.